Kamis, 21 Mei 2015

Kalau Bisa Hidup Sederhana Kenapa Harus Mewah?

Bagi sebagian orang kualitas hidup erat kaitannya dengan gaya hidup yang dijalani. Mereka yang yang mampu tapi memilih menjalani gaya hidup sederhana sering dicap aneh, mengekang diri bahkan pelit.
Collins English Dictionary memberi definisi gaya hidup (life style) sebagai berikut:
“A set of attitudes, habits or possessions associated with a particular person or group” –
Sekumpulan sikap, kebiasaan atau kepemilikan yang terkait dengan seseorang atau kelompok tertentu.
Dari definisi diatas bisa kita lihat bahwa gaya hidup seseorang tidak harus ada kaitannya dengan status sosial ekonomi seseorang. Orang bisa saja kaya raya tapi kalau memang pada dasarnya bersahaja, gaya hidupnya akan merefleksikan hal tersebut, contoh: Warren Buffett.
Sayangnya pembicaraan  gaya hidup cenderung identik dengan pakaian, tempat nongkrong, hiburan, shopping dan kehidupan glamour. Kalau tidak pecaya, lihat saja kolom gaya hidup dalam berbagai majalah. Seakan-akan hanya gaya hidup ala selebritis yang pantas menjadi acuan dan layak ditiru.
Hidup cuma sekali, siapa sih yang gak mau hidup mewah?”, komentar beberapa teman. “Apalagi kalau mampu, gue sih hidup mau enjoy” lanjut mereka. Tentu saja itu semua pilihan pribadi masing-masing dan tidak ada yang berhak mencampurinya. Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi ataupun menggurui, hanya refleksi pribadi atas pilihan gaya hidup.
Sebenarnya apa sih hidup enak? Mengapa pendapat gaya hidup enak bisa mirip-mirip padahal katanya setiap orang unik? Dan mengapa bisa ada orang yang tetap memilih gaya hidup sederhana meskipun mampu?
Orang yang memilih gaya hidup sederhana meski mampu bisa dijelaskan dengan analogi berikut. Ketika lapar kita cari makanan. Piring nasi Padang pertama rasanya makyus. Piring kedua masih makyus. Melihat piring ketiga rasanya sudah mual kekenyangan. Tubuh memberi tahu kapan enough is enough.
Sementara gaya hidup lebih menyentuh sisi psikis. Kita distimulasi untuk terus merasa lapar lewat iklan, gaya hidup di sinetron, lingkungan sosial dsb. Semakin banyak yang dikonsumsi semakin tinggi taraf hidup kita. Semakin branded barang yang kita kenakan semakin berkelas dan tinggi cita rasa kita. Dengan kondisi demikian pikiran kita tidak tahu lagi apa itu cukup.
Dalam pelajaran ekonomi dasar kita diajarkan ada yang namanya ‘kebutuhan’ dan ‘keinginan’. Kebutuhan sifatnya terbatas mencakup pangan , sandang dan papan sementara keinginan tidak terbatas. Saya rasa jaman sekarang konsep keinginan dan kebutuhan sudah kabur.
Kita butuh makanan (pangan) tapi maunya makan di restoran kelas atas.
Kita butuh baju (sandang) tapi maunya yang bermerek.
Kita butuh tempat tinggal (papan) tapi maunya rumah besar lengkap dengan fasilitas kolam renang, taman dan pembantu.
Kita butuh HP buat komunikasi tapi maunya yang model terbaru biar dianggap gaul. Kalau perlu antri depan toko semalaman biar jadi orang pertama yang punya.
Orang bilang jaman sekarang biaya hidup semakin meningkat. Kalau ingin kelihatan gaul atau jaga gengsi jadi ‘kebutuhan’, jelas saja biaya hidup jadi mahal. Bila keinginan materi bisa sengaja distimulasi agar tetap lapar tentu keinginan juga bisa dilatih untuk mengenal arti kata cukup. Materi hanyalah sarana penunjang hidup bukan tujuan hidup. Ungkapan kerennya, kita makan untuk hidup bukan hidup untuk makan.
Warren Buffet tetap menjalani kehidupan sederhana karena baginya berkesempatan menggeluti bidang pekerjaan yang dicintai sudah merupakan imbalan tersendiri. Menjalani hidup sederhana terasa jauh lebih mudah bagi mereka yang sadar bahwa kita hidup hanya sekali. Setiap tarikan napas mendekatkan kita pada kematian sedikit demi sedikit. Alih-alih mengejar tropi kehidupan yang fana, mereka mencari tahu apa tujuan hidup mereka lahir ke dunia dan sibuk memenuhi panggilan hidupnya.
Jadi mengapa hidup sederhana kalau bisa bisa mewah? Jawabannya, karena sudah kenyang. Daripada dipaksakan perut jadi buncit.
“I went to the woods because I wished to live deliberately, to front only the essential facts of life, and see if I could not learn what it had to teach, and not, when I came to die, discover that I had not lived” - Henry David Thoreau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar