Gaya HIdup Sederhana Nabi Muhammad
Orang yang menganut gaya hidup sederhana ada dua macam. Pertama,
orang miskin yang memang memiliki kemampuan finansial terbatas. Umumnya,
kemiskinan yang mereka derita bukan karena kemauan sendiri tetapi
karena keterpaksaan yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan (skill),
lemahnya pendidikan, dan sedikitnya pilihan dan kesempatan. Orang
miskin otomatis harus hidup sederhana dan apa adanya karena itulah
satu-satunya cara yang harus dia lakukan. Namun demikian, belum tentu
mereka akan tetap hidup sederhana seperti itu ketika suatu hari mereka
menjadi orang yang kaya dan memiliki sarana untuk hidup mewah. Ini
adalah kecenderungan kebanyakan orang miskin di dunia. Mereka hidup
sederhana karena memang miskin dan tidak memiliki sarana untuk hidup
mewah. Di antara mereka ada yang cukup mensyukuri hidupnya dan tawakal
dengan apa yang diterima. Namun tidak sedikit yang selalu mengeluh dan
merasa tidak puas atas keadaan yang mereka anggap kurang nyaman.
Kedua, orang yang secara finansial berkecukupan, bahkan termasuk kaya
raya, namun ia memilih untuk tidak hidup berfoya-foya dan bergelimang
kemewahan walaupun mereka mampu melakukan itu. Bagi kelompok ini,
kekayaan hanyalah buah dari kerja keras dan tidak harus
dihambur-hamburkan untuk kepentingan dan kemegahan pribadi. Mereka lebih
suka memanfaatkan kelebihan materi yang dimiliki untuk membantu
sebanyak mungkin orang yang membutuhkannya. Orang seperti ini ada
walaupun tidak banyak.
Karena, kebanyakan manusia akan memanfaatkan kekayaan berlimpah yang
dimiliki untuk kemegahan pribadi yang dapat ditandai dengan kepemilikan
benda-benda yang dianggap mewah sebagai simbol status sosial. Seperti
mobil, rumah, perabot rumah tangga, dan atribut yang dipakai semua harus
mewah dan sesuai dengan standar kalangan sosialita modern. Sekedar
contoh kecil, banyak kalangan hartawan kita yang memiliki jam tangan
seharga 1 milyar; tas tangan wanita seharga 100 juta, dan seterusnya.
Ironisnya, sebagian ulama kaya yang senang dipanggil dengan sebutan
kehormatan seperti Ustadz, Kyai, Abuya, dan Tuan Guru, tak segan-segan
mengikuti gaya hidup hedonis ini.
Seperti disebutkan di muka, orang kaya yang hidup sederhana itu ada
walaupun sedikit. Di antara yang sedikit itu tersebut nama-nama seperti
Azim Premji, seorang muslim asal India. Dia menempati peringkat nomor 61
sebagai individu terkaya sedunia versi Majalah Forbes edisi 2014 dengan
kekayaan senilai USD 15 miliar atau sekitar Rp. 150 triliun rupiah.
Dengan kekayaan sebesar itu, dia tetap hidup sederhana. Kekayaannya
dibuatnya untuk membantu pendidikan siswa miskin. Dia mendirikan yayasan
beasiswa dengan nama Azim Premji Foundation yang sejak berdirinya pada
tahun 2001 telah membiayai pendidikan lebih dari 2.5 juta siswa di
seluruh India.[4] Di Indonesia, kita mengenal Joko Widodo, mantan
Walikota Solo dan saat ini Gubernur DKI Jakarta yang berpola hidup
sangat sederhana walaupun memiliki kekayaan senilai Rp. 23 miliar. Joko
Widodo atau Jokowi menolak naik mobil mewah walaupun itu mobil dinas
yang legal. Dalam kesehariannya sebagai Gubernur DKI, Jokowi hanya
mengendarai Toyota Innova, berpakaian putih jahitan tanpa merek yang
harganya sekitar Rp. 50.000 dan memakai sepatu seharga Rp. 100.000. Para
ulama hartawan dan politisi partai Islam yang bergaya hidup mewah harus
merasa malu pada kesederhanaan Jokowi.
Ketiga, figur yang sebenarnya memiliki kesempatan untuk kaya dengan
cara yang halal, tapi ia dengan sengaja meninggalkan kesenangan duniawi
dan memilih menjadi miskin dan hidup sederhana dan pas-pasan. Rasulullah
termasuk dalam kategori ini. Rasulullah memiliki kemampuan, kesempatan
dan kekuasaan untuk menjadi kaya raya. Sebagai Rasul dan sekaligus
kepala negara, beliau selalu mendapatkan harta berlimpah dari berbagai
arah. Dari rampasan perang, dan berbagai hadiah yang diterimanya dari
berbagai pihak baik dari umat Islam maupun dari raja-raja non-muslim.
Namun, Nabi selalu membagi setiap hadiah atau harta yang diterimanya
pada orang lain dan hanya menyisakan bagian sangat sedikit untuk Nabi
dan keluarganya.
Kemiskinan dan kesederhanaan hidup yang dipilih sekaligus kedermawanan Nabi dapat dilihat dalam sejumlah riwayat hadits berikut:
Nabi Hanya Memiliki Satu Mantel
Jubair bin Muth’im bertutur, ketika ia bersama Rasulullah saw,
tiba-tiba orang-orang mencegat beliau dan meminta dengan setengah
memaksa sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka mengambil mantelnya. Rasulullah saw
berhenti sejenak dan berseru, ”Berilah mantelku ini! Itu untuk menutup
auratku. Seandainya aku mempunyai mantel banyak (lebih dari satu), tentu
akan kubagikan pada kalian (HR. Bukhari)
Bersedekah Sampai Harta Habis
Umar bin Khattab bercerita: Suatu hari seorang laki-laki datang
menemui Rasulullah saw untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya.
Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya.
Keesokan harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun
memberinya Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta,
Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi,
ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai
sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” Umar lalu berkata, “Wahai
Rasulullah janganlah memberi diluar batas kemampuanmu.” Rasulullah saw
tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki
dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja
berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki
tadi, Rasulullah tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan
itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi).
Ummu Salamah, istri Rasulullah saw bercerita: Suatu hari Rasulullah
saw masuk ke rumahku dengan muka pucat. Aku khawatir beliau sedang
sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begini?” tanyaku.
Rasulullah menjawab,”Aku pucat begini bukan karena sakit, melainkan
karena aku ingat uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin sampai sore
ini masih berada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.” (HR
Al-Haitsami).
Memberi dari Harta Hadiah yang Disukai
Sahl bin Sa’ad bertutur: Suatu hari datang seorang perempuan
menghadiahkan kepada Nabi saw sepotong syamlah yang ujungnya ditenun
(syamlah adalah baju lapang yang menutup seluruh badan). Perempuan itu
berkata, “ Ya Rasulullah, akulah yang menenun syamlah ini dan aku hendak
menghadiahkan kepada Engkau.” Rasulullah saw pun sangat menyukainya.
Beliau langsung mengambil dan memakainya dengan sangat gembira dan
berterima kasih kepada wanita itu. Rasulullah saw betul-betul sangat
membutuhkan dan menyukai syamlah tersebut.
Tidak lama setelah wanita itu pergi, tiba-tiba datang seorang
laki-laki meminta syamlah tersebut. Rasulullah pun memberikannya. Para
sahabat yang lain lalu mengecam laki-laki tersebut. Mereka berkata, “Hai
Fulan, Rasulullah saw sangat menyukai syamlah tersebut, mengapa kau
memintanya? Kau kan tahu Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau
diminta?” Laki-laki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai
sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku meninggal”.
Tidak lama kemudian, laki-laki itu meninggal dan syamlah tersebut
menjadi kain kafannya. (HR Bukhari)
Diikuti Abu Bakar, Umar dan Ali
Sikap Rasulullah yang lebih memilih hidup miskin, walaupun mampu
untuk hidup kaya secara halal, ditiru oleh sejumlah Sahabat, antara lain
Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib.
Pada saat Rasulullah mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan
harta mereka untuk dana perang Tabuk, Abu Bakar membawa seluruh hartanya
kepada Rasulullah. Sejak saat itu Abu Bakar menjadi orang yang hidup
dengan sangat sederhana. Kesederhanaan itu terus terjadi kendatipun
dia menjadi Khalifah pertama setelah Rasulullah wafat.
Umar bin Khattab juga memilih hidup sederhana dan apa adanya walaupun
saat dia menjadi Khalifah kedua telah menjadi kepala negara yang luas
dan disegani. Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan
sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari
tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran
sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan
Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi
daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh
kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sosok yang memang berasal dari
keluarga miskin dan sederhana sejak masa mudanya. Dan kesederhanaan itu
tetap menjadi pilihannya walaupun di kemudian hari dia terpilih menjadi
Khalifah Islam keempat yang kekuasaannya meliputi banyak kawasan luas
dan kaya melebihi kekuasaan Umar bin Khattab.
Pelajaran yang dapat Diambil
Manusia dianjurkan oleh Islam untuk belajar rajin selagi muda dan
bekerja keras ketika dewasa. Dengan kerja keras sebagian orang akan
dapat memenuhi kebutuhannya walaupun dengan sederhana dan pas-pasan.
Dalam situasi seperti ini, langkah terbaik adalah dengan tawakal dan
ungkapan syukur atas setiap rezeki yang diperoleh. Sebagian lagi dapat
memetik hasil kerja kerasnya dalam bentuk gelimang harta yang berlimpah.
Ini merupakan ujian. Dan sikap terbaik dalam situasi ini adalah tetap
menjaga pola hidup sederhana dan memilih gaya hidup sederhana sebagai
pilihan terbaik untuk mengasah kepedulian pada sesama dan mengerem nafsu
konsumtif dan pola hidup mewah yang dilarang agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar