Jumat, 22 Mei 2015

Renungan seorang anak untuk Ibu

Mari kita renungkan bersama..
Kenanglah IBU yang menyayangi kita,
untuk IBU yang selalu meneteskan air mata ketika kita pergi...
Ingatkah kita ketika IBU rela tidur tanpa selimut demi melihat kita tidur nyenyak dengan dua selimut membalut tubuh kita...

Ingatkah kita ketika jemari IBU mengusap lembut kepala kita??
dan ingatkah kita ketika airmata menetes dari mata IBU kita,
Ketika melihat kita terbaring sakit..

Sesekali jenguklah IBU kita yang selalu menantikan kepulangan kita di rumah tempat kita dilahirkan..
Kembalilah minta maaf pada IBU yang selalu rindu akan senyum kita..

Jangan biarkan kita kehilangan saat-saat yang akan kita rindukan di masa datang ketika IBU telah tiada...

Tak ada lagi yg berdiri di depan pintu menyambut kita.
Tak ada lagi senyum indah..tanda bahagia.
Yang ada hanyalah kamar yang kosong tiada penghuninya..
Yang ada hanyalah baju yang tergantung di lemari kamarnya..

Tak ada lagi dan tak akan ada lagi yang meneteskan air mata mendo'akan kita disetiap hembusan nafasnya.
Kembalilah segera....
Peluklah IBU yang selalu menyayangi kita..
Ciumlah kaki IBU..
Yang selalu merindukan kita.
Dan berikanlah yang terbaik di akhir hayatnya...



dan jika ibu mu sudah di surga,

Kenanglah semua cinta & kasih sayangnya... berdoalah agar dia tersenyum di surga sana...
IBU...
Maafkan aku...
Sampai kapanpun jasamu tak akan terbalas...

Wahai sobat yang berbakti berikanlah yang terbaik buat IBU mu..
Baik atau buruk,cantik atau jelek..
Ia tetap IBU kita..
Sukses buat kita semua...


Puisi untuk Ibu...


# Bertahun-tahun ibu mengasuhku, bertahun-tahun mungkin aku lupa berterimakasih atas jasa ibuku, aku telah lupa semua dosaku, ma'afkan aku ibu..
======================

Sembilan bulan engkau berjuang mengandungku, lalu engkau bertaruh nyawa melahirkanku. Perjuanganmu sungguh berat! ma'afkan aku ibuku aku tak pernah berterimakasih atas jasamu.
======================

Ma'afkan anakmu ibu, yang banyak berdosa padamu ini. sekarang dan untuk selamanya aku akan berterimakasih padamu, atas segala jasamu yang takkan bisa kubalas sampai kapanpun.
======================

Tidak ada sutera yang begitu lembut seperti belaian seorang ibu, tidak ada tempat yang paling nyaman selain pangkuan seorang ibu, tak ada bunga yang lebih cantik selain senyummu, tak ada jalan yang begitu berbunga-bunga seperti yang dicetak dengan langkah kakimu..
======================

Kau adalah alasan kenapa aku ada dalam kehidupan ini, aku terlahir dari rahimmu. seorang wanita yang telah memberi kami cinta dan pengorbanan..
======================

Ibu, kau telah melihat aku tertawa kau juga pernah melihat aku menangis dan kau selalu ada di sana bersamaku meskipun aku tidak selalu mengatakannya.
======================

Ibu ibu ibu….sampai kapanpun engkau tetap singgah di hati ini, dalam setiap irama tubuhmu kau selalu menyapa di dalam kepenatan yang tak pernah terbisikkan kau selalu mendekap dalam kerinduan, kau tak pernah ingin lepas dariku.
======================

Usiaku kini telah berubah aku bukan lagi balita kecil kaulah yang telah membentuk
jiwa mentah ini, kau pula yang telah mengelola emosi labil ini menjadi lokomotif kemajuan. kaulah yang selalu memberiku keberuntungan dengan nasihatmu kala malam telah larut dan gerbang mimpi siap menghampiriku.
======================

Kala yang lain terlelap ku tahu kau tak pernah terlena oleh pikiran, hati, jiwa, dan emosiku. kau selalu bekerja demi masa depanku kau selalu berpacu dengan waktu karena kau yakin, tanpa itu aku bisa jadi terlindas oleh jaman yang semakin keras skarang.
======================

Kaulah pengantar luasnya pengetahuanku Kala wadah perkataan ku hanya
bagai tetesan air mata, kaulah yang memenuhinya hingga menjadi sebuah lautan, kaulah bintang berkilau ku yang tak akan pernah terlupakan oleh rangkaian huruf, cahaya, sejarah, dan peradaban manusia.
======================

Andai aku bisa ibu.. kan kubalas segenap cinta dan kasihmu, andai aku mampu.. ibu kan kupersembahkan seterang kilauan mu sehangat dekapanmu, setulus kasihmu, dan sebijak nasihatmu ======================

Kutahu, ibu tanganmu tak pernah lepas
berharap untukku dalam setiap do’a yang kau panjatkan untuk ku. kutahu ibu
Senyummu selalu menyapa dalam setiap kata cinta yang keluar dari lisanmu. ku tahu ibu mata hatimu selalu terjaga dalam setiap derapku.


Ya Allah.. aku tadahkan tanganku berharap engkau membahagiakan ibuku seperti aku kini.

Ya Rabbi.. Aku memohon berilah ibu mimpi
yang selalu indah,..

Ya Rabbul Izzati.. kuberharap padamu anugerahkanlah ibu ku kecupan hangat seperti yang selalu ia berikan padaku saat aku terbangun di pagi hari.

Ya Illahi.. Sejahterakanlah bunda karena beliaulah, pelangi dan matahariku hari ini kuhaturkan dengan tulus padamu..!!

Kamis, 21 Mei 2015

Pola Hidup Sederhana Nabi Muhammad

Gaya HIdup Sederhana Nabi Muhammad


Orang yang menganut gaya hidup sederhana ada dua macam. Pertama, orang miskin yang memang memiliki kemampuan finansial terbatas. Umumnya, kemiskinan yang mereka derita bukan karena kemauan sendiri tetapi karena keterpaksaan yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan (skill), lemahnya pendidikan, dan sedikitnya pilihan dan kesempatan. Orang miskin otomatis harus hidup sederhana dan apa adanya karena itulah satu-satunya cara yang harus dia lakukan. Namun demikian, belum tentu mereka akan tetap hidup sederhana seperti itu ketika suatu hari mereka menjadi orang yang kaya dan memiliki sarana untuk hidup mewah. Ini adalah kecenderungan kebanyakan orang miskin di dunia. Mereka hidup sederhana karena memang miskin dan tidak memiliki sarana untuk hidup mewah. Di antara mereka ada yang cukup mensyukuri hidupnya dan tawakal dengan apa yang diterima. Namun tidak sedikit yang selalu mengeluh dan merasa tidak puas atas keadaan yang mereka anggap kurang nyaman.
Kedua, orang yang secara finansial berkecukupan, bahkan termasuk kaya raya, namun ia memilih untuk tidak hidup berfoya-foya dan bergelimang kemewahan walaupun mereka mampu melakukan itu. Bagi kelompok ini, kekayaan hanyalah buah dari kerja keras dan tidak harus dihambur-hamburkan untuk kepentingan dan kemegahan pribadi. Mereka lebih suka memanfaatkan kelebihan materi yang dimiliki untuk membantu sebanyak mungkin orang yang membutuhkannya. Orang seperti ini ada walaupun tidak banyak.
Karena, kebanyakan manusia akan memanfaatkan kekayaan berlimpah yang dimiliki untuk kemegahan pribadi yang dapat ditandai dengan kepemilikan benda-benda yang dianggap mewah sebagai simbol status sosial. Seperti mobil, rumah, perabot rumah tangga, dan atribut yang dipakai semua harus mewah dan sesuai dengan standar kalangan sosialita modern. Sekedar contoh kecil, banyak kalangan hartawan kita yang memiliki jam tangan seharga 1 milyar; tas tangan wanita seharga 100 juta, dan seterusnya. Ironisnya, sebagian ulama kaya yang senang dipanggil dengan sebutan kehormatan seperti Ustadz, Kyai, Abuya, dan Tuan Guru, tak segan-segan mengikuti gaya hidup hedonis ini.
Seperti disebutkan di muka, orang kaya yang hidup sederhana itu ada walaupun sedikit. Di antara yang sedikit itu tersebut nama-nama seperti Azim Premji, seorang muslim asal India. Dia menempati peringkat nomor 61 sebagai individu terkaya sedunia versi Majalah Forbes edisi 2014 dengan kekayaan senilai USD 15 miliar atau sekitar Rp. 150 triliun rupiah. Dengan kekayaan sebesar itu, dia tetap hidup sederhana. Kekayaannya dibuatnya untuk membantu pendidikan siswa miskin. Dia mendirikan yayasan beasiswa dengan nama Azim Premji Foundation yang sejak berdirinya pada tahun 2001 telah membiayai pendidikan lebih dari 2.5 juta siswa di seluruh India.[4] Di Indonesia, kita mengenal Joko Widodo, mantan Walikota Solo dan saat ini Gubernur DKI Jakarta yang berpola hidup sangat sederhana walaupun memiliki kekayaan senilai Rp. 23 miliar. Joko Widodo atau Jokowi menolak naik mobil mewah walaupun itu mobil dinas yang legal. Dalam kesehariannya sebagai Gubernur DKI, Jokowi hanya mengendarai Toyota Innova, berpakaian putih jahitan tanpa merek yang harganya sekitar Rp. 50.000 dan memakai sepatu seharga Rp. 100.000. Para ulama hartawan dan politisi partai Islam yang bergaya hidup mewah harus merasa malu pada kesederhanaan Jokowi.
Ketiga, figur yang sebenarnya memiliki kesempatan untuk kaya dengan cara yang halal, tapi ia dengan sengaja meninggalkan kesenangan duniawi dan memilih menjadi miskin dan hidup sederhana dan pas-pasan. Rasulullah termasuk dalam kategori ini. Rasulullah memiliki kemampuan, kesempatan dan kekuasaan untuk menjadi kaya raya. Sebagai Rasul dan sekaligus kepala negara, beliau selalu mendapatkan harta berlimpah dari berbagai arah. Dari rampasan perang, dan berbagai hadiah yang diterimanya dari berbagai pihak baik dari umat Islam maupun dari raja-raja non-muslim. Namun, Nabi selalu membagi setiap hadiah atau harta yang diterimanya pada orang lain dan hanya menyisakan bagian sangat sedikit untuk Nabi dan keluarganya.
Kemiskinan dan kesederhanaan hidup yang dipilih sekaligus kedermawanan Nabi dapat dilihat dalam sejumlah riwayat hadits berikut:
Nabi Hanya Memiliki Satu Mantel
Jubair bin Muth’im bertutur, ketika ia bersama Rasulullah saw, tiba-tiba orang-orang mencegat beliau dan meminta dengan setengah memaksa sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri. Tiba-tiba salah seorang dari mereka mengambil mantelnya. Rasulullah saw berhenti sejenak dan berseru, ”Berilah mantelku ini! Itu untuk menutup auratku. Seandainya aku mempunyai mantel banyak (lebih dari satu), tentu akan kubagikan pada kalian (HR. Bukhari)
Bersedekah Sampai Harta Habis
Umar bin Khattab bercerita: Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah janganlah memberi diluar batas kemampuanmu.” Rasulullah saw tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi).
Ummu Salamah, istri Rasulullah saw bercerita: Suatu hari Rasulullah saw masuk ke rumahku dengan muka pucat. Aku khawatir beliau sedang sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begini?” tanyaku. Rasulullah menjawab,”Aku pucat begini bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.” (HR Al-Haitsami).
Memberi dari Harta Hadiah yang Disukai
Sahl bin Sa’ad bertutur: Suatu hari datang seorang perempuan menghadiahkan kepada Nabi saw sepotong syamlah yang ujungnya ditenun (syamlah adalah baju lapang yang menutup seluruh badan). Perempuan itu berkata, “ Ya Rasulullah, akulah yang menenun syamlah ini dan aku hendak menghadiahkan kepada Engkau.” Rasulullah saw pun sangat menyukainya. Beliau langsung mengambil dan memakainya dengan sangat gembira dan berterima kasih kepada wanita itu. Rasulullah saw betul-betul sangat membutuhkan dan menyukai syamlah tersebut.
Tidak lama setelah wanita itu pergi, tiba-tiba datang seorang laki-laki meminta syamlah tersebut. Rasulullah pun memberikannya. Para sahabat yang lain lalu mengecam laki-laki tersebut. Mereka berkata, “Hai Fulan, Rasulullah saw sangat menyukai syamlah tersebut, mengapa kau memintanya? Kau kan tahu Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau diminta?” Laki-laki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku meninggal”. Tidak lama kemudian, laki-laki itu meninggal dan syamlah tersebut menjadi kain kafannya. (HR Bukhari)
Diikuti Abu Bakar, Umar dan Ali
Sikap Rasulullah yang lebih memilih hidup miskin, walaupun mampu untuk hidup kaya secara halal, ditiru oleh sejumlah Sahabat, antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abu Thalib.
Pada saat Rasulullah mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang Tabuk, Abu Bakar membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah. Sejak saat itu Abu Bakar menjadi orang yang hidup dengan sangat sederhana. Kesederhanaan itu terus terjadi kendatipun dia menjadi Khalifah pertama setelah Rasulullah wafat.
Umar bin Khattab juga memilih hidup sederhana dan apa adanya walaupun saat dia menjadi Khalifah kedua telah menjadi kepala negara yang luas dan disegani. Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sosok yang memang berasal dari keluarga miskin dan sederhana sejak masa mudanya. Dan kesederhanaan itu tetap menjadi pilihannya walaupun di kemudian hari dia terpilih menjadi Khalifah Islam keempat yang kekuasaannya meliputi banyak kawasan luas dan kaya melebihi kekuasaan Umar bin Khattab.
Pelajaran yang dapat Diambil
Manusia dianjurkan oleh Islam untuk belajar rajin selagi muda dan bekerja keras ketika dewasa. Dengan kerja keras sebagian orang akan dapat memenuhi kebutuhannya walaupun dengan sederhana dan pas-pasan. Dalam situasi seperti ini, langkah terbaik adalah dengan tawakal dan ungkapan syukur atas setiap rezeki yang diperoleh. Sebagian lagi dapat memetik hasil kerja kerasnya dalam bentuk gelimang harta yang berlimpah. Ini merupakan ujian. Dan sikap terbaik dalam situasi ini adalah tetap menjaga pola hidup sederhana dan memilih gaya hidup sederhana sebagai pilihan terbaik untuk mengasah kepedulian pada sesama dan mengerem nafsu konsumtif dan pola hidup mewah yang dilarang agama.

Kalau Bisa Hidup Sederhana Kenapa Harus Mewah?

Bagi sebagian orang kualitas hidup erat kaitannya dengan gaya hidup yang dijalani. Mereka yang yang mampu tapi memilih menjalani gaya hidup sederhana sering dicap aneh, mengekang diri bahkan pelit.
Collins English Dictionary memberi definisi gaya hidup (life style) sebagai berikut:
“A set of attitudes, habits or possessions associated with a particular person or group” –
Sekumpulan sikap, kebiasaan atau kepemilikan yang terkait dengan seseorang atau kelompok tertentu.
Dari definisi diatas bisa kita lihat bahwa gaya hidup seseorang tidak harus ada kaitannya dengan status sosial ekonomi seseorang. Orang bisa saja kaya raya tapi kalau memang pada dasarnya bersahaja, gaya hidupnya akan merefleksikan hal tersebut, contoh: Warren Buffett.
Sayangnya pembicaraan  gaya hidup cenderung identik dengan pakaian, tempat nongkrong, hiburan, shopping dan kehidupan glamour. Kalau tidak pecaya, lihat saja kolom gaya hidup dalam berbagai majalah. Seakan-akan hanya gaya hidup ala selebritis yang pantas menjadi acuan dan layak ditiru.
Hidup cuma sekali, siapa sih yang gak mau hidup mewah?”, komentar beberapa teman. “Apalagi kalau mampu, gue sih hidup mau enjoy” lanjut mereka. Tentu saja itu semua pilihan pribadi masing-masing dan tidak ada yang berhak mencampurinya. Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi ataupun menggurui, hanya refleksi pribadi atas pilihan gaya hidup.
Sebenarnya apa sih hidup enak? Mengapa pendapat gaya hidup enak bisa mirip-mirip padahal katanya setiap orang unik? Dan mengapa bisa ada orang yang tetap memilih gaya hidup sederhana meskipun mampu?
Orang yang memilih gaya hidup sederhana meski mampu bisa dijelaskan dengan analogi berikut. Ketika lapar kita cari makanan. Piring nasi Padang pertama rasanya makyus. Piring kedua masih makyus. Melihat piring ketiga rasanya sudah mual kekenyangan. Tubuh memberi tahu kapan enough is enough.
Sementara gaya hidup lebih menyentuh sisi psikis. Kita distimulasi untuk terus merasa lapar lewat iklan, gaya hidup di sinetron, lingkungan sosial dsb. Semakin banyak yang dikonsumsi semakin tinggi taraf hidup kita. Semakin branded barang yang kita kenakan semakin berkelas dan tinggi cita rasa kita. Dengan kondisi demikian pikiran kita tidak tahu lagi apa itu cukup.
Dalam pelajaran ekonomi dasar kita diajarkan ada yang namanya ‘kebutuhan’ dan ‘keinginan’. Kebutuhan sifatnya terbatas mencakup pangan , sandang dan papan sementara keinginan tidak terbatas. Saya rasa jaman sekarang konsep keinginan dan kebutuhan sudah kabur.
Kita butuh makanan (pangan) tapi maunya makan di restoran kelas atas.
Kita butuh baju (sandang) tapi maunya yang bermerek.
Kita butuh tempat tinggal (papan) tapi maunya rumah besar lengkap dengan fasilitas kolam renang, taman dan pembantu.
Kita butuh HP buat komunikasi tapi maunya yang model terbaru biar dianggap gaul. Kalau perlu antri depan toko semalaman biar jadi orang pertama yang punya.
Orang bilang jaman sekarang biaya hidup semakin meningkat. Kalau ingin kelihatan gaul atau jaga gengsi jadi ‘kebutuhan’, jelas saja biaya hidup jadi mahal. Bila keinginan materi bisa sengaja distimulasi agar tetap lapar tentu keinginan juga bisa dilatih untuk mengenal arti kata cukup. Materi hanyalah sarana penunjang hidup bukan tujuan hidup. Ungkapan kerennya, kita makan untuk hidup bukan hidup untuk makan.
Warren Buffet tetap menjalani kehidupan sederhana karena baginya berkesempatan menggeluti bidang pekerjaan yang dicintai sudah merupakan imbalan tersendiri. Menjalani hidup sederhana terasa jauh lebih mudah bagi mereka yang sadar bahwa kita hidup hanya sekali. Setiap tarikan napas mendekatkan kita pada kematian sedikit demi sedikit. Alih-alih mengejar tropi kehidupan yang fana, mereka mencari tahu apa tujuan hidup mereka lahir ke dunia dan sibuk memenuhi panggilan hidupnya.
Jadi mengapa hidup sederhana kalau bisa bisa mewah? Jawabannya, karena sudah kenyang. Daripada dipaksakan perut jadi buncit.
“I went to the woods because I wished to live deliberately, to front only the essential facts of life, and see if I could not learn what it had to teach, and not, when I came to die, discover that I had not lived” - Henry David Thoreau