REMBANG, ISLAMNUSANTARA.COM – Tulisan Gus Mus tentang makna
Ramadhan serta toleransi beragama dan keragaman beragama.
Oleh: A. Mustofa Bisri
“MUSTOFA, Ramadhan adalah bulan-Nya yang Ia serahkan
kepadamu dan bulanmu serahkanlah semata-mata untuk-Nya. Bersucilah untuk-Nya.
Bersalatlah untuk-Nya. Berpuasalah untuk-Nya. Berjuanglah melawan dirimu
sendiri untuk-Nya.” (A. Mustofa Bisri Dalam Nasehat Ramadhan buat A. Mustofa
Bisri)
Gegap gempita menyambut kedatangan Ramadhan dan hiruk
pikuk kaum muslimin menjalani Ramadhan, disatu sisi bisa dipandang sebagai
pertanda maraknya kehidupan beragama, khususnya di negeri ini. Namun, dilain
pihak, bias sebagai bahan perenungan kita semua, terutama bagi peningkatan mutu
keberagamaan kita.
Lihatlah, bagaimana repotnya pemerintah
mengkoordinasikan pihak-pihak yang di ajak bersama-sama menghitung dan
meneropong hilal untuk menetapkan awal Ramadhan. Bahkan, tahun ini masyarakat
umumpun dilibatkan dalam kegiatan rukyah.
Lihatlah spanduk-spanduk menyambut kedatangan Ramadhan
yang terpampang di seantero jalan. Lihatkan kesibukan para produser dan
insan-insan pertelevisian serta para pemilik PH yang bahkan jauh-jauh hari
menyusun program-program Ramadhan.
Lihatlah ingar-bingar masjid-masjid dan mushola serta
meriahnya acara buka bersama dimana-mana. Lihatlah kepedulian
instansi-instansi, termasuk kepolisian yang dengan serius berusaha menghormati
Ramadhan. Luar biasa.
Pendek kata pada Ramadhan ini, Indonesia seolah-olah
menjadi milik kaum muslimin. Lautan, daratan, dan udara boleh dikata dikuasai
kaum muslimin. Subhanallah! Kata Ilham dan ustad-ustad dalam takjub.
Fenomena ini bisa kita saksikan setiap tahun. Setiap
Ramadhan. Hanya pada Ramadhan. Inilah acara rutin tahunan kita selama ini.
Seakan-akan kita hanya menunggu datang dan perginya
Ramadhan, lalu setelah itu kembali kepada kesibukan lain yang biasa kita
lakukan di sebelas bulan yang lain. Seakan-akan kita menghormati Ramadhan hanya
pada Ramadhan. Kita berpuasa, menahan diri hanya kepada Ramadhan. Termasuk
berakrab-akrab dengan keluarga pun hanya pada Ramadhan.
Itu pun -kehidupan Ramadhan yang seperti itu- masih
menyisakan sekian tanda Tanya bagi mereka yang benar-benar ingin mendapatkan
keridhaan Tuhan mereka. Tanda Tanya itu antara lain, dimanakah posisi Allah SWT
dalam diri kita di tengah kesibukan kita yang khas itu?
Seberapa murnikah niat kita dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan ibadah kita? Atau seberapa jauh dorongan nafsu yang samara
menyusupi keinginan kita mendapatkan ridha Allah SWT?
Dengan perenungan yang agak dalam, kita mungkin akan
menyadari bahwa nafsu begitu halus tersembunyi dalam diri kita, sering
berhimpitan dengan kehendak mendapatkan ridha Allah SWT. Kita berdzikir atau
membaca Quran, misalnya, tentulah dengan kehendak ingin mendapatkan ridha-Nya.
Namun, bersamaan dengan itu, sering tanpa kita sadari nafsu justru mendorong
kita untuk berlebih-lebihan, sehingga kehendak yang mulia itu malah melenceng
melanggar anggar-anggar-Nya.
Kita berdzikir atau membaca Quran tidak lagi murni
bagi Allah SWT Yang Maha Dekat, tetapi kita keraskan suara kita sedemikian rupa
seolah-olah kita sedang menyeru orang tuli. Bahkan, di negeri ini, kebiasaan
berdzikir, membaca Quran, dan sebagainya, dengan pengeras suara sudah merupakan
hal jamak lumrah. Tak ada seorang kiai pun yang mengingatkannya.
Saya sendiri pernah menyinggung masalah kemaruk
pengeras suara ini, di koran ini. Besoknya ada penelepon yang marah-marah, “MUI
saja, Gus Dur saja, tidak mempersoalkan, kok sampeyan mempersoalkan!” Saya
mempersoalkan hal ini justru karena MUI dan Gus Dur tidak terang-terangan
mempersoalkannya, jawab saya ketika itu.
Biasanya orang yang membenarkan dzikir dan sebagainya
dengan pengeras suara beralasan bahwa itu merupakan syi’ar. Saya tidak tahu
apakah maksud mereka dengan syi’ar itu?
Apakah Rasulullah SAW yang melarang berdzikir
keras-keras itu tidak mengerti syi’ar? Apakah para sahabat, Imam Syafi’i dan
ulama-ulama besar yang mengecam dzikir dengan suara keras itu tidak mengerti
syi’ar?
Lagi pula apakah, karena kita merasa besar, lalu kita
merasa merdeka dan menafikkan hak mereka yang lain -sekecil apapun- untuk tidak
diganggu dengan suara-suara keras?
Kehendak untuk diterima amal kita sering juga disusupi
nafsu yang samar, lalu kita menjadi egois; ingin agar amal kita sendiri yang
diterima tanpa mengindahkan hak orang lain untuk berkehendak diterima amalnya.
Bahkan, sering karena kita terlalu ingin mendapatkan ridha Allah SWT, lalu kita
mempersetankan hak orang lain untuk menjadi hamba-Nya sesuai kemampuannya.
Tengoklah mereka yang karena ingin menghormati
Ramadhan, lalu ingin memaksa para pemilik warung untuk menutup warung. Mereka
lupa bahwa tidak semua orang muslim wajib melaksanakan puasa pada Ramadhan.
Disana ada musafir-musafir yang di perkenankan tidak puasa dan
perempuan-perempuan yang datang bulan yang malah tidak boleh berpuasa. Maraknya
kehidupan beragama secara lahiriah seharusnya diikuti dengan maraknya
spiritualitas kaum beragama secara batiniah. Dengan demikian, Ramadhan tidak
begitu saja berlalu sebagaimana momen-momen rutin lain yang tidak membekas.
Apalagi justru menjadikan kita hamba-hamba yang bangga
diri terhadap kebesaran semu kita. Selamat berpuasa Ramadhan! Semoga Allah
mengampuni kekurangan-kekurangan kita dan menerima amal ibadah kita. Amin.
(ISNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar